Header Ads Widget

Header Ads

Teori Seni dalam Tiga Tahap Kebudayaan

Oleh : Aditya Nirwana

Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009 : 144). Seni merupakan salah satu wujud kebudayaan yang bersifat artifact, yakni benda-benda hasil karya manusia disamping dua wujud kebudayaan yang lain yaitu ideas, dan activities.

Cultural studies selalu menjadi topik yang menarik, khususnya bidang seni yang dikaji dengan perspektif kebudayaan atau antropologi, dimana kebudayaan selalu berkembang, selalu bergeser melampaui tahapan evolusi manusia, sesuai dengan sifatnya yang super-organik. Perubahan-perubahan tersebut, yang telah lalu dan yang sekarang, tahap yang telah lalu dan tahap yang sekarang, semuanya terekam dalam sebuah wujud karya seni. Rekam jejak pergeseran-pergeseran atau perubahan nilai budaya dalam kurun waktu tertentu tersebut dapat dilihat dari perwujudan karya seni dalam kurun waktu itu sendiri, bahkan untuk melihat sejauh mana tingkat peradaban sebuah bangsa, maka karya seni menjadi indikator peradaban tersebut.

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

A. Tiga Tahap Kebudayaan

Tiga tahap kebudayaan diusulkan oleh van Peursen dalam bukunya yang berjudul Strategi Kebudayaan. Pendekatan skematis tersebut  dijabarkan dalam sebuah bagan yang memperlihatkan tiga tahap perkembangan kebudayaan untuk membeberkan suatu gambaran sederhana mengenai perkembangan kebudayaan manusia. Tiga tahap kebudayaan menurut van Peursen (1988 : 18) antara lain :
  1. Tahap pemikiran mitis, yang dimaksud dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi bangsa-bangsa primitif.
  2. Tahap pemikiran ontologis, yang dimaksud dengan tahap kedua atau ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mistis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak kepada sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan.
  3. Tahap pemikiran fungsional , tahap ketiga atau fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak pada manusia moderen, yang mana tidak lagi terpesona oleh lingkungannya (sikap mitis), dan tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak dengan obyek penyelidikannya (sikap ontologis), namun manusia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Namun begitu, dalam ketiga pemikiran di atas, tidak dapat dikatakan bahwa suatu tahap pemikiran lebih maju dari tahap pemikiran lainnya, atau sebaliknya, suatu tahap pemikiran lebih terbelakang daripada tahap pemikiran yang lain, sebab ketiganya memiliki peranan masing-masing. Pada tahap mitis misalnya, sekalipun bentuk kebudayaan dan cara pemanfaatan benda-benda sangat berbeda dengan dunia modern, namun dalam sebuah mitos kita dapat menyaksikan bagaimana manusia menyusun strategi, dan mengatur hubungan antara kekuatan alam dan manusia, sehingga dapat dipahami bahwa dalam dunia mitis menampakkan suatu sifat manusiawi yang umum. Begitu juga dengan kebudayaan timur dan kebudayaan barat, konsep mengenai timur-barat merupakan sebuah konsep kontras kebudayaan. Konsep ini mediskuskan mengenai kontras antara kebudayaan timur yang mempunyai pandangan yang mementingkan kehidupan kerohanian, mistik, pikiran pre-logis, keramah-tamahan, dan kehidupan sosial, sebaliknya kepribadian barat mempunyai pandangan hidup yang mementingkan kehidupan material, pikiran logis, hubungan berdasarkan asas guna, dan individualism. Namun mengenai konsep kontras kebudayaan timur-barat tersebut tidaklah mutlak benar.

Bedasarkan hal tersebut, penulis berargumen bahwa ada sebuah keterkaitan yang erat antara tiga tahap kebudayaan tersebut dengan seni sebagai bentuk mimetis, seni sebagai bentuk ekspresi, dan seni sebagai bentuk fungsional. Hubungan keterkaitan tersebut tetap dilandasi dengan prinsip tidak ada dari salah satu hal tersebut lebih maju dari yang lain atau sebaliknya, satu hal lebih terbelakang dari yang lain. Seperti yang dapat kita saksikan pada era kotemporer sekalipun, konsep mimetik juga memiliki perannya, misalnya pada karya pop-art Andi Warhol, dimana pengaruh konsepsi mimesis nampak pada hampir sebagian besar karya ilustrasi maupun desain grafis yang ia ciptakan.

B. Seni Sebagai Bentuk Mimesis

Pada tahap pemikiran mitis, manusia terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi bangsa-bangsa primitif. Begitu juga dengan kesenian, kesenian sebagai artifact, yakni wujud dari kebudayan disamping idea dan activities juga dipengaruhi oleh hal-hal yang berbau mitos. Hal ini nampak sekali dalam berbagai macam bentuk kesenian, misalkan di Timur Tegah, terdapat suku nomad yang pada saat mereka memasang tenda-tenda pada sebuah oase, lalu memperagakan sebuah peristiwa dari zaman purbakala ketika para dewa berkelahi dengan raksasa yang merebut ruang hidup mereka. Suku itu memperagakan peristiwa tersebut dalam bentuk tarian-tarian meniru sang dewa seperti apa yang ada di dalam pikiran mereka dalam sebuah gerakan-gerakan.

Di kepulauan Mentawai, terdapat Turuk Laggai yang merupakan tarian budaya yang menyimbolkan binatang yang ada di lingkungan mereka tempati. Dalam turuk langgai, liukan tubuh dan rentakan kaki penari mengikuti irama gendang (gajeumak) seperti menirukan tingkah hewan seperti elang, ayam bahkan monyet. Menurut salah seorang tokoh masyarakat di Mentawai mereka melakukan tarian itu karena semua aktivitas keseharian mereka selalu berkaitan dengan alam. Semua tarian itu memiliki makna dan arti menyatu dengan lingkungan yang mereka tempati dan memiliki kearifan dalam menjaga lingkungannya. Turuk Langgai merupakan tarian mimesis dari hawan seperti elang dan monyet, dan bersifat mitis jika dihubungkan dengan mitologi-mitologi.

Turuk Laggai sebagai bentuk seni mimetik
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa manusia suka meniru gerakan-gerakan objek yang berasal dari luar dirinya karena memang manusia mempunyai insting untuk meniru (Soedarsono, 1992 : 98). Hal ini akan terlihat jelas pada budaya suku-suku primitif, ada sebuah suku yang melakukan tarian menyerupai gerak binatang ketika akan pergi berburu, gerak-gerak tersebut menyerupai binatang yang akan diburu. Ada pula tarian untuk meminta hujan, gerakan-gerakannya menyerupai binatang yang dijumpai pada saat hujan, katak misalnya. Tari-tarian yang merupakan peniruan (mimesis) dari gerak-gerak alam dan binatang tersebut mengandung harapan serta tujuan terterntu, yakni suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi kekuatan alam atau kekuatan binatang yang akan diburunya itu dengan sungguh-sungguh yang merupakan fungsi dari mitos, yaitu untuk mendapatkan jaminan bagi masa kini, dalam hal ini menjamin untuk mendapatkan binatang buruan.

Menyatunya masyarakat Mentawai dengan alam diwujudkan dalam Turuk Langgai yang menirukan, atau mimesis dari alam dan hewan-hewan disekitarnya, merupakan ciri khusus dari alam pikiran mitis. Manusia tidak sama dengan lambang atau binatang itu, tetapi lewat simbol itu dia ambil bagian, berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan disekitarnya, dan itulah yang diterangkan oleh mitos-mitos (Peursen, 1988 : 39). Partisipasi tersebut dapat digambarkan dengan cara yang sederhana (gambar 2.2), terdapat subyek yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia (O), dimana manusia (S) masih terbuka dengan daya-daya kekuatan alam, namun dia dikepung oleh daya-daya tersebut (O).
Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Berdasarkan ilustrasi di atas, maka penulis berargumen bahwa bentuk-bentuk seni yang bersifat mimesis, merupakan sebuah wujud partisipasi manusia dengan daya-daya kekuatan disekitarnya dengan jalan meniru gerak-gerak atau bentuk-bentuk yang ada di alam, baik itu tumbuhan, hewan, maupun gejala alam.  Dengan tidak membeku pada kesenian-kesenian primitif, begitu juga dalam seni rupa, istilah seni rupa mimesis yang berarti seni rupa peniruan alam, mulai diperkenalkan pada masa Yunani klasik (Salam, 2000 : 01). Perupa Yunani pada masa itu menciptakan seni patung, lukis dengan menirukan bentuk-bentuk alam. Bahkan menurut Socrates, sebuah karya seni rupa mimesis dengan dengan obyek manusia seyogyanya tidak terpaku pada unsur ragawi dari orang yang ditampilkan, namun jiwa atau perasaan dari orang tersebut haruslah turut dinyatakan oleh ekspresi mata. Dari pendapat Socrates tersebut, dapat dipahami mengenai unsur “roh”, atau “apa”-nya dari sebuah karya seni tersebut yang merupakan substansi dari pemikiran mitis.

C. Seni Sebagai Bentuk Ekspresi

Ekspresi, dalam bahasa Inggris adalah expression yang dapat di artikan sebagai "action of manifesting a feeling", atau tindakan mewujudkan perasaan. Expression sendiri berasal dari bahasa latin yaitu expressionem, kata benda dari tindakan exprimere, yaitu "suatu tindakan atau penciptaan yang mengungkapkan perasaan" (http://dictionary.reference.com, diakses pada tanggal 13 Oktober 2012). Pada karya seni, konsep seni ekspresivisme menganggap karya seni sebagai rekaman emosi kreatornya. Karya seni merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain (Bangun, 2000 : 57). Memang demikian halnya, bahwa pada aliran ekspresionisme memandang bahwa karya seni sudah seharusnya menjadi ungkapan isi batin dan perasaan sang seniman, tidak hanya sebagai tiruan alam (mimesis). Seniman Heri Dono mengutarakan (dalam Marianto, 2011 : 14) bahwa seni merupakan suatu ekspresi individual dan kolektif dari kehidupan nyata yang memiliki muatan aspirasi intelektual dan tanda-tanda yang bisa dikenali atau simbolik.

Pada tahap kedua dari bagian tiga tahap kebudayaan, yakni tahap pemikiran ontologis, dimana sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mistis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak kepada sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan. Manusia mulai meyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Ontologi mulai berkembang dalam kebudayaan-kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Manusia mengambil jarak terhadap sesuatu yang dirasakan mengepungnya, dan kemudian mengamatinya. Manusia mengambil jarak, mengamati, dan mengkotak-kotakkan, merupakan sebuah ciri dari sikap ontologis. Tuntutan ini terutama diajukan terhadap daya pikir manusia, yang harus menempatkan diri berhadapan dengan dan lepas dari segala peristiwa, agar dapat melihat secara keseluruhan, dan mempetakannya. Alam pikiran ontologis hidup dalam ketegangan distansi (jarak) itu. (Peursen, 1988 : 59). Sifat dasar dalam pikiran ontologis tersebut dapat dijelaskan dalam sebuah diagram (gambar 2.3), manusia (S) sudah lepas dari segala peristiwa di dunia (O), manusia mengambil jarak dengan dunia, dan kemudian mengamatinya.
Sikap ontologis ini terlihat dalam diri seorang seniman ekspresionis-konstruktivis Wassily Kandinsky (1866-1944), pada tahun 1910 ia menulis teori dalam sebuah buku yang berjudul “Uber das Geistige in Der Kunst” yang menjadi pegangan bagi kelompok atau para penganutnya. Beberapa diantara teori yang merupakan visi Kandinsky tersebut kurang lebih :

“Suatu hasil seni terdiri dari dua unsur, yaitu unsur dalam dan unsur luar. Unsur dalam ialah emosi dalam jiwa seorang seniman; dan emosi tersebut mempunyai kemampuan untuk membangunkan emosi serupa dalam diri penonton”.
“Unsur dalam, yaitu emosi, harus ada dalam sesuatu hasil seni. Apabila tidak maka hasil seni itu tidak lain hanyalah sebuah kebohongan saja. Unsur dalam inilah yang justru menentukan bentuk dari hasil seni tersebut.” ¹

Akhirnya Kandinsky meunutup bukunya dengan suatu kesimpulan, bahwa ada tiga sumber inspirasi bagi lahirnya sebuah lukisan, yaitu; (1) impresi, ialah kesan langsung dari alam yang ada di luar diri seorang seniman; (2) improvisasi, ialah ekspresi yang spontan dan tidak disadari dari sesuatu yang ada di dalam yang spiritual sifatnya; dan (3) komposisi, ialah ekspresi dari perasaan di dalam yang terbentuknya dengan lambat-lambat dan secara sadar, sekalipun tetap menggunakan perasaan dan tidak rasional ².

Dapat dilihat bahwa Kandinsky membagi menjadi dua, yakni unsur dalam dan unsur luar. Unsur dalam ialah emosi dalam jiwa seorang seniman, dan unsur luar ialah impresi, yaitu kesan langsung dari alam yang ada di luar diri seorang seniman. Impresi tersebut dapat dipahami sebagai daya-daya kekuatan alam, yang terdiri dari aspek material dan non-material. Penulis berpendapat bahwa Kandinsky membuat sebuah jarak antara emosi dalam jiwa seorang seniman dengan impresi, sehingga terdapat tegangan di antara keduanya sehingga menghasilkan ekspresi yang tidak lain merupakan sebuah sikap ontologis.

Ekspresionisme adalah lawan dari Impresionisme yang hanya berusaha untuk melukiskan kesan optis dari sesuatu dan melihat dunia sebagai sebuah tempat yang indah penuh warna. Worringer (dalam Soedarso, 2000 : 99) mengatakan bahwa pada karya-karya ekspresionisme umumnya terdapat tendensi ke arah individuasi dan fragmentasi : pribadi-pribadi tidak ditumbuhkan nilai-nilai sosialnya melainkan justru dikembangkan kesadarannya akan isolasi dan keterpisahannya. Dalam persoalan individuasi ini ialah adanya kesadaran dari seorang seniman untuk mengisolasi diri dan menemukan inspirasi, dalam hal ini, seniman, walaupun secara fisik berkumpul dengan orang lain, berada di dalam dunia dan peristiwa, namun secara psikologis ia terpisah. Paul Klee seorang tokoh seni modern menemukan teorinya mengenai seni, dalam tulisannya ia mengatakan bahwa seni tidak menggambarkan yang tampak, melainkan membuat yang tidak tampak menjadi tampak.

Penulis mencoba mengilustrasikan, seseorang yang berada di sebuah ruangan dalam rumah tidak akan bisa melihat wujud rumah secara keseluruhan dan utuh, karena dia berada di tengah-tengah obyek, lain halnya jika sesorang tersebut keluar dari rumah, membuat jarak tertentu dari rumah itu, dan mengisolasi diri dari obyek, maka akan terlihat wujud rumah secara utuh, sehingga akan ketahuan bagian-bagian mana yang rusak dan perlu diperbaiki, tembok rumah yang sudah mulai kusam sehingga perlu segara dicat ulang, pagar yang sudah mulai roboh perlu segera diperbaiki, atau kalau perlu diganti dengan yang baru, timbul apa yang disebut oleh Plato yaitu idea-idea. Itulah mengapa pada seni lukis ekspresionisme sebagian besar menggambarkan masalah-masalah umum, masalah-masalah sosial dan politis, keadaan masyarakat yang tidak sehat, dan sebagainya, sebab seniman ekspresionis benar-benar membuat sebuah jarak dengan realitas, dengan peristiwa, dan daya-daya kekuatan alam yang mengepungnya.

Emil Nolde - “Spectators at the Cabaret”
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis berargumen bahwa bentuk-bentuk seni yang bersifat ekspresif merupakan sebuah wujud dari pengambilan jarak terhadap sesuatu yang dirasakan mengepungnya, untuk kemudian diamati, dikotak-kotakkan, tuntutan ini terutama diajukan terhadap daya pikir manusia, yang harus menempatkan diri berhadapan dengan dan lepas dari segala peristiwa, agar dapat melihat secara keseluruhan, dan mempetakannya, yang merupakan ciri khas dari sikap ontologis. Pemikiran ontologis menerangkan sesuatu atau menuturkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain. Seperti Plato yang dalam bukunya masih sering menggunakan mitos-mitos yang penuh bobot dalam rangka suatu teori, yaitu rangka ontologis yang meliputi ajaran tentang idea-idea (Peursen, 1988 : 65).

Max Beckmann - “The Night”
D. Seni dalam Konsep Fungsional

Seperti yang sudah disampaikan pada awal bab, tahap ketiga dalam kebudayaan yaitu tahapan fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak pada manusia modern, yang mana tidak lagi terpesona oleh lingkungannya (sikap mitis), dan tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak dengan obyek penyelidikannya (sikap ontologis), namun manusia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Malinowski dengan teori fungsionalisme-nya dalam bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944) menyatakan bahwa (dalam Koentjaraningrat, 1987 : 171) segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Misalnya pada kesenian, sebagai salah satu unsur kebudayaan, terjadi mula-mula karena manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Dapat dipahami bahwa seni memiliki “fungsi” sebagai alat pemuas kebutuhan naluri manusia akan keindahan, namun fungsi tersebut masih bersifat mendasar. Adapun fungsi-fungsi yang bersifat lanjutan, seperti yang diungkapkan bahwa seni memiliki fungsi sosial, karena hakikat seni adalah untuk dikomunikasikan, berarti untuk ditonton, didengar, atau diresapkan (Hadi, 2006 : 291), sehingga dapat dipahami seni dalam fungsi sosial-nya seni sebagai penguat rasa kesetiakawanan sosial atau kebersamaan. Sebagai contoh misalnya lukisan Affandi tentang “Pengemis Tidur” yang menggugah kesadaran sosial (BP. ISI,1991 ; dalam Hadi, 2006 : 292).

Affandi - "Pengemis Tidur"
Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa kata “fungsi” selalu menunjukkan kepada pengaruh terhadap sesuatu yang lain, “fungsional” tidak berdiri sendiri, namun dalam sebuah hubungan tertentu untuk memperoleh arti dan maknanya, manyangkut hubungan, pertautan, dan relasi. Sikap dasar dalam pemikiran fungsional itu ; orang mencari hubungan-hubungan antara semua bidang itu, arti sebuah kata atau sebuah perbuatan maupun barang dipandang menurut peran atau fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan itu yang saling bertautan (Peursen, 1988 : 86). Gambaran dari sikap fungsional ini, dapat diilustrasikan secara sederhana (gambar dibawah) dimana manusia sebagai subyek (S) masih berhadapan dengan dunia (O), tetapi bukan lagi sebagai sesuatu yang bulat tertutup, namun subyek terbuka bagi obyek dan sebaliknya.
Akhirnya, tidak ada lagi sesuatu yang mempunyai arti, bila dipandang lepas dari dunia sekitarnya. Dalam sikap fungsional, sikap tegang menjadi ciri khas. Manusia mempertaruhkan diri, mengarahkan diri kepada sesuatu atau seseorang lain dengan segala gairah hidup dan emosi-emosinya, yang disebut dengan ekstensial. Sikap ekstensial merupakan ciri khas dari sikap fungsional.

The Magdeburg Water Bridge
Pada tahap pemikiran ini, tidak hanya memperlihatkan benda-benda berdasarkan asas fungsi dan manfaatnya, dimana bentuknya disesuaikan dengan tujuan dari benda tersebut, namun harus artistik-fungsional juga. Misalnya, sebuah jembatan penyeberangan hendaknya tidak memenuhi syarat-syarat teknis saja serta fungsinya dalam perhubungan, namun juga secara estetik berpadu harmonis dengan lingkungan sekitar. Sebuah karya seni dapat menunjukkan fungsi jembatan penyeberangan dalam karya tersebut, bagaimana fungsinya dalam kehidupan manusia.

Gambar di atas mungkin dapat mengilustrasikan mengenai rupa sebuah seni dalam konsep fungsional, sedikit banyak terkesan modern dan hi-tech, namun memang begitulah adanya. Yang perlu digarisbwahi tidak semua seni dalam bentuk fungsional tampil dengan wujud modern dan hi-tech seperti pada faham operasionalisme yang meng-ekstrem-kan fungsi-fungsi dalam wujud sebuah benda dengan relasinya terhadap manusia, aspek-aspek teknis begitu ditonjolkan sehingga mengalahkan bentuk berdasarkan tujuannya. Operasionalisme terlihat begitu berlebihan atau sok modern/teknis.

Pada masa evolusi kriya, benda-benda dibuat berdasarkan tujuannya. Kriya atau craft adalah suatu produk yang dibuat dengan menggunakan alat-alat sederhana yang mengutamakan keterampilan tangan melalui proses kerja bersifat home industry (Sarwono & Lubis, 2007 : 05). Barang yang dihasilkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia, untuk memasak, alat dapur, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Pada seni kriya, sebuah benda dibuat berdasarkan tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia namun dengan bahan-bahan yang mudah di dapat dari alam atau lingkungan sekitar, dengan kata lain, artistik-fungsional.

Operasionalis, sok teknis
Pada tahap pemikiran fungsional ini, dimana seni menjelma menjadi bentuk yang fungsional, penulis berpendapat dalam perkembangannya, seni setelah berintegrasi dengan disiplin-disiplin ilmu lain akan menjadi seni terapan lalu menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan desain. Di dalam desain, dimana terdapat upaya-upaya melakukan perubahan pada barang-barang ciptaan manusia berdasarkan tujuannya, secara estetik-fungsional. Berawal dari masa evolusi kriya, design by drawing (metode desain dengan menggambar), hingga sampai pada masa kini new design method dengan pendekatan multi disiplin. Hal ini yang disebut oleh Imam Bukhori Zainudin bahwa desain merupakan sebuah upaya untuk mencari inovasi dengan menciptakan suatu produk baru yang memenuhi kriteria (atau kondisi yang diinginkan), bersifat humaniora, dalam hal ini bentuk menjadi tujuan.
Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

 E. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penulisan ilmiah dan konstruksi argumen pada bab sebelumnya, maka penulis memiliki beberapa kesimpulan sebagai berikut :
  1. Bentuk-bentuk seni yang bersifat mimesis, merupakan sebuah wujud partisipasi manusia dengan daya-daya kekuatan disekitarnya dengan jalan meniru gerak-gerak atau bentuk-bentuk yang ada di alam, baik itu tumbuhan, hewan, maupun gejala alam, yang merupakan ciri dari sikap mitis.
  2. Bentuk-bentuk seni yang bersifat ekspresif merupakan sebuah wujud dari pengambilan jarak terhadap sesuatu yang dirasakan mengepungnya, untuk kemudian diamati, dikotak-kotakkan, tuntutan ini terutama diajukan terhadap daya pikir manusia, yang harus menempatkan diri berhadapan dengan dan lepas dari segala peristiwa, agar dapat melihat secara keseluruhan, dan mempetakannya, yang merupakan ciri khas dari sikap ontologis.
  3. Dalam perkembangannya, seni setelah berintegrasi dengan disiplin-disiplin ilmu lain akan menjadi seni terapan lalu menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan desain. Di dalam desain, dimana terdapat upaya-upaya melakukan perubahan pada barang-barang ciptaan manusia berdasarkan tujuannya, secara estetik-fungsional.
Keterbatasan pengetahuan penulis, maupun keterbatasan kajian pustaka, dirasa menyebabkan argumen penulis tidak begitu kuat, maka diperlukan penelitian, atau kajian-kajian ilmiah lebih lanjut guna menyempurnakan, melengkapi, atau menyanggah argumen penulis, guna memberikan dinamika pada kehidupan akademis. Sebuah ilmu pengetahuan dapat dikatakan hidup apabila terdapat aktivitas-aktivitas penelitian, atau kajian dalam disiplin lmu tersebut.

Catatan :
  1. Wassily Kandinsky, Concerning The Spiritual in Art, George Witten Born, New York, 1947, pp.23-24 (dalam Soedarso, 2000 : 103).
  2. Ibid, p.77 (dalam Soedarso, 2000 :104)

Daftar Pustaka

Bangun, Sem C. 2000. Kritik Seni Rupa. Bandung : Penerbit ITB
Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Penerbit Buku Pustaka
Koentjananingrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan IX. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta
______________. 2010. Sejarah Teori Antropologi I. Cetakan X. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Marianto, Dwi M. 2011. Menempa Quanta Mengurai Seni. Yogyakarta. Badan Penerbit ISI Yogyakarta
Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Edisi Kedua. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Salam, Sofyan. 2000. Seni Rupa Mimesis dan Modern/Kontemporer di Sulawesi-Selatan : Sebuah Pengantar tentang Perjalanan dan Persoalannya. Dewan Kesenian Sulawesi Selatan
Sarwono, Jonathan & Hary Lubis. 2007. Metode Riset untuk Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta. Penerbit Andi
Sp., Soedarso. 2000. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Jakarta : Studio Delapan Puluh

http://okezone.com, diakses pada tanggal 13 Oktober 2012
http://www.thearttribune.com, diakses pada tanggal 13 Oktober 2012
http://dictionary.reference.com, diakses pada tanggal 13 Oktober 2012
http://www.actingoutpolitics.com, diakses pada tanggal 13 Oktober 2012
http://pelukisnusantara.wordpress.com, diakses pada tanggal 14 Oktober 2012
http://scienceblogs.com, diakses pada tanggal 14 Oktober 2012
http://piccsy.com, diakses pada tanggal 14 Oktober 2012

Download dokumen ini :


Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Posting Komentar

0 Komentar