Header Ads Widget

Header Ads

Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi : Pengantar Singkat

Berangkat dari sebuah pertanyaan besar mengenai Ontologi, sebuah term yang pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Ontologi disebutkan sebagai salah satu cabang dari filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan yang mencakup semua ilmu khusus, disamping Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga cabang tersebut merupakan cabang besar dari dari Filsafat, sedangkan cabang Filsafat yang khusus terdiri dari Filsafat Bahasa, Filsafat Matematika, Filsafat Agama, Filsafat Seni, dan seterusnya. Disebutkan pula bahwa Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi merupakan landasan penelaahan ilmu, hal ini didasari oleh pendapat yang menyatakan bahwa Filsafat Ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakikat ilmu.

Ontologi sebagai teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Photo by Giammarco Boscaro on Unsplash  

Filsafat Ilmu hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu tersebut antara lain : (i) obyek apa yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh ilmu; dan (iii) untuk apa ilmu digunakan (Adib, 2010 : 67). Hal ini sejalan seperti apa yang diungkapkan oleh Suriasumantri (1984 : 105) bahwa setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (Ontologi), bagaimana (Epistemologi), dan untuk apa (Aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah kontemporer, terdapat tiga cara pandang filosofis yang dikenal dengan paradigma, yakni Positivisme, Rasionalisme dan Konstruktivisme, dan oleh Guba paradigma ini didefinisikan sebagai sejumlah keyakinan dasar yang menjadi pedoman dalam melakukan tindakan (Guba, 1990 : 17, dalam Triatmojo). Guba menganjurkan pemakaian tiga karakter utama yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Metodologi. Aksiologi untuk sementara tidak disinggung perannya dalam rangka relevansi terhadap perspektif Guba.

A. Ontologi

Adapun pengertian menurut bahasa, Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on/ontos = being atau ada, dan logos = logic atau ilmu. Jadi, Ontologi  dapat diartikan : The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), atau  Ilmu tentang yang ada (Kusumaningrum, dkk, 2009 : 2). Dengan kata lain, Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan kepada logika semata. Adapun pengertian menurut istilah, Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality (kenyataan/realitas paling akhir) yang berbentuk jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2004, dalam Kusumaningrum, dkk, 2009 : 2).  Jika harus diilustrasikan dalam pertanyaan, Ontologi bertanya mengenai obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?.

Ontologi dapat juga disebut dengan “Teori Hakikat”. Sebagai contoh mengenai argumen yang bersifat Ontologis, pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada dalam di alam nyata ini mesti ada idea-nya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep unversal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih, ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea kuda itu adalah paham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini (Adib, 2010 : 70 – 72). 

Sejalan dengan bagian tiga tahap kebudayaan yang diungkapkan oleh van Peursen, yakni tahap Mitis, tahap Ontologis, dan tahap Fungsionil, dimana pada tahap Ontologis sikap hidup manusia tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan dan mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu menurut perinciannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa Ontologis dapat dicapai hanya jika manusia mengambil jarak terhadap sesuatu (obyek) tersebut, membuat sebuah distansi dengan obyek, untuk dapat “melihat” obyek dari berbagai sudut pandang, dan kemudian menemukan hakikat dari sesuatu (obyek) tersebut.  Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ontologi merupakan sebuah sikap mengambil jarak (distansi) dengan sesuatu (obyek) yang dapat ditangkap oleh indera untuk mempelajari hakikatnya dengan berdasarkan logika.

B. Epistemologi

Epistemologi juga disebutkan sebagai salah satu cabang besar dari filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan yang mencakup semua ilmu khusus, setelah Ontologi dan kemudian menyusul Aksiologi. Secara etimologis, istilah Epistemology merupakan gabungan kata dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos berarti pengetahuan sistematik atau ilmu (Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011 : 79). Dengan demikian, Epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar dan sistematik mengenai ilmu pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan Epistemologi sebagai “The study of method and ground of knowledge, espicially with reference to its limits and validity”, atau kajian tentang metode dan dasar pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan batas-batas dan tingkat kebenarannya. Dengan kata lain, Epistemologi merupakan cabang Filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan (Adib, 2010 : 74). Menurut Musa Asy’arie (dalam Kusumaningrum, dkk, 2009 : 4), Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Jika Ontologi juga disebut dengan “Teori Hakikat”, maka Epistemologi juga disebut dengan “Teori Pengetahuan”. Jika harus diilustrasikan dalam pertanyaan, Epistemologi bertanya mengenai bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapat pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang dapat membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

Dari beberapa pertanyaan diatas, sebenarnya pertanyaan utama Epistemologi adalah apa yang benar-benar sudah diketahui dan bagaimana cara untuk mengetahuinya? Epistemologi tidak peduli apakah lukisan di depan mata adalah penampakan belaka atau bukan. Yang jelas ada sebuah lukisan terpampang di depan mata dan kemudian diteliti secara scientific, lalu menentukan sebuah model filsafat. Menurut Keith Lehrer (dalam Adib, 2010 : 76) secara historis terdapat tiga perspektif dalam Epistemologi yang berkembang di barat yaitu : (i) Dogmatic Epistemology; (ii) Critical Epistemology; dan (iii) Scientific Epistemology.

Dogmatic Epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap Epistemologi, dimana Ontologi diasumsikan dulu ada, baru kemudian diambahkan Epistemologi. Setelah realitas dasar diasumsikan dulu ada, baru kemudian ditambahkan Epistemologi untuk menjelaskan bagaimana mengetahui realitas tersebut, apa yang diketahui, lalu bagaimana cara untuk mengetahuinya. Singkatnya, Epostemologi Dogmatik menetapkan Ontologi sebelum Epistemologi. Yang kedua adalah Critical Epistemology, yakni membalik Epistemologi Dogmatik dengan menanyakan apa yang dapat diketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dahulu secara kritis, baru diyakini keberadaanya. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada,baru dijelaskan. Berpikir dahulu baru meyakini atau tidak, meragukan dahulu baru meyakini atau tidak. Critical Epistemology juga disebut dengan metode skeptis, singkatnya, Epistemologi Kritis menetapkan Ontologi setelah Epistemologi. Ketiga, adalah Scientific Epistemology yakni apa yang benar-benar sudah diketahui dan bagaimana cara untuk mengetahuinya? Epistemologi tidak peduli apakah lukisan di depan mata adalah penampakan belaka atau bukan. Yang jelas ada sebuah lukisan terpampang di depan mata dan kemudian diteliti secara scientific.

C. Metodologi

Metode, menurut Senn (dalam Suriasumantri, 1984 : 119) merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Sedangkan Metodologi merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode tersebut (Senn, 1971 : 4, dalam Suriasumantri, 1984 : 119). Jadi Metodologi Ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam metode tersebut, atau pengetahuan tenang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian, dengan kata lain, Metodologi merupakan sebuah kerangka konseptual dari metode tersebut. Metodologi meletakkan prosedur yang harus dipakai pada pembentukan atau pengetesan proposisi-proposisi oleh para ilmuwan yang ingin mendapatkan pengetahuan yang valid (dalam Triatmojo). Dengan demikian, Metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah Epistemologi. Metodologi secara filsafati termasuk dalam Epistemologi. 

Dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara Epistemologi, Metodologi dan metode seperti yang diungkapkan oleh Kusumaningrum, dkk (2009 : 6) sebagai berikut: Dari Epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada Metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau teknik. Epistemologi itu sendiri adalah sub-sistem dari Filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari Filsafat. Filsafat mencakup bahasan Epistemologi, Epistemologi mencakup bahasan Metodologis, dan dari Metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari Metodologi, sedangkan Metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam Epistemologi. Adapun Epistemologi merupakan bagian dari Filsafat. Adapun jenis-jenis Metodologi penelitian diantaranya adalah Riset Non-Eksperimental, Riset Eksperimental, Studi Kasus, Grounded Research, Riset Fenomenologi, Riset Etnografik, Riset Naturalistik, Strukturalisme-Linguistik, Strukturalisme-Semiotik, Marxisme-Kontekstual, dan lain sebagainya.

D. Daftar Rujukan

Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu : Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kusumaningrum, Anissa, dkk. 2009. Dimensi Kajian Filsafat Ilmu. Paper Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Semarang : Magister Teknik Kimia Universitas Diponegoro
Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press
Triatmojo, Suastiwi. Impikasi Terhadap Pluralitas Metodologi Penelitian. Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta


Posting Komentar

6 Komentar