Header Ads Widget

Header Ads

Seutas Pikir tentang Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia

*) Artikel ini terpilih sebagai Juara I dalam Lomba Artikel Blog Nasional yang diselenggarakan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Republik Indonesia, dalam tema Pemenuhan kebutuhan ALPALHANKAM (Alat Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) secara mandiri oleh industri pertahanan. KKIP.go.id

Awalnya, saya benar-benar ragu ketika akan menuliskan barang secuil ide-ide atau gagasan – apakah itu tentang pertahanan dan keamanan, atau hal-hal yang ‘berbau’ militer. Ada pasal; sebagai seorang praktisi pendidikan dan industri kreatif, hidup saya, nyaris tak pernah bersangkut-paut dengan hal ihwal pertahanan. Kecuali, obrolan ringan di warung kopi dengan dua – tiga orang kawan yang kebetulan berdinas sebagai TNI-AU, dan seorang sahabat Brimob. Kakek saya, seorang TNI-AD, tapi angkatan ‘45. Ketika saya masih kecil beliau sudah pensiun, sehingga – ketimbang menggendong senjata, kakek lebih sibuk menggendong cucunya ini. Pun, ketimbang berperang, kakek lebih banyak terlihat bertani dan merawat sapi. Kepada saya, kakek tak sempat mengemukakan visinya mengenai pertahanan dan keamanan, sayapun tak pernah bertanya, ia wafat hampir 30 tahun yang lalu. Jadi, saya benar-benar awam. Tapi begini, dalam perspektif sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, saya (dan mungkin juga Anda) yang akademisi cum desainer grafis ini termasuk komponen cadangan atau pendukung sistem pertahanan negara. Jadi boleh dikatakan, tulisan saya ini sakadar uneg-uneg yang – meski dan jelas bukan tandingan kawan-kawan sarjana ilmu pertahanan, atau hubungan internasional, setidaknya kali ini saya berhasil menulis yang ‘boleh-boleh saja’, dan juga dengan ‘genre’ yang benar-benar belum pernah saya tulis. Toh, saya pikir memang demikianlah fungsi blog.

Pindad Cobra (Sumber : KKIP.go.id

Jadi, rapat kerja perdana Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dengan Komisi I DPR-RI pada bulan November 2019 lalu, berlangsung ‘agak gaduh’ lantaran hujan interupsi terkait perbedaan persepsi mengenai pemaparan anggaran pertahanan yang disampaikan secara terbuka atau tertutup. Akhirnya, rapat diputuskan ‘semi-tertutup’, terbuka pada bagian pendahuluan yang sifatnya umum dan visioner, dan tertutup pada bagian komponen anggaran yang sifatnya lebih teknis dan detail. Ada dua hal yang menurut saya menarik di sana, pertama; dalam pemaparan yang visioner Menhan mengatakan; “Saya bersyukur, dari beberapa hari berkeliling, ternyata sebetulnya kita mampu membuat propellant, bahan yang penting untuk membuat peluru dan roket. Semua bahan bakunya ada di Indonesia. Saya optimis, dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia akan memiliki industri pertahanan yang kuat!”Meski saya harus berkorban rasa penasaran karena rapat pembahasan mengenai teknis dan detail anggaran kemudian disampaikan secara tertutup, namun sesuatu yang disampaikan di bagian awal biasanya penting, dan saya yakin penguatan industri pertahanan Indonesia menjadi prioritas anggaran pak Menhan lima tahun ke depan. Kedua, yakni apa yang dikemukakan TB Hasanuddin; "Anggaran di dalam pertahanan itu berbasis kinerja. Tapi kalau dalam pertahanan, berbasis ancaman, atau biasa dengan hakikat ancaman...,namanya standar penangkalannya minimum. Sehingga lahirlah minimum essensial cost, harusnya maximum essesisial cost kan begitu.”

Apa yang dapat saya tangkap dari TB Hasanuddin adalah bagaimana biaya pertahanan dianggarkan dengan berbasis pada ancaman yang dihadapi. Dengan biaya itu, diharapkan dapat menghasilkan daya tangkal yang paling optimal (maksimal), bukan daya tangkal minimal. Apa yang dikemukakan oleh Menhan dan TB Hasanuddin bagi saya sangat berkaitan, karena menyiapkan kemandirian tentu berawal dari pemenuhan kebutuhan, dan kebutuhan tentu dapat diidentifikasi berdasarkan ancaman yang dihadapi. Artinya, kemandirian industri pertahanan berawal dari bagaimana bangsa ini mampu menangkal ancaman dengan segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki sendiri.



Kemandirian yang "Terbatas"

Menyoal masalah kemandirian industri pertahanan, kerap problematik. Pasca perang dingin, terjadi redefinisi mengenai arti ‘perang’ dan ‘damai’, batas-batas di antara keduanya kerap kabur. ‘Perang’ seringkali tak tertangkap mata karena terjadi pada lini ekonomi, politik, dan perlombaan teknologi termasuk teknologi pertahanan. Menilik kajian Witarti & Armandha, negara-negara adidaya seperti AS dan negara-negara Eropa kini tidak lagi mengembangankan pertahanannya dengan cara autarchy (membangun industri secara mandiri penuh), namun dengan jalan me-liberalisasi industri pertahanannya. Autarchy juga menjadi sulit dilakukan karena semakin ketatnya persaingan teknologi pertahanan di dunia, maka berbagi sumberdaya melalui liberalisasi dipandang menjadi jalan keluar.[1] Namun, hendaknya hal ini tidak hanya dipandang sebagai sebuah bentuk ‘perhatian’, atau bahkan ‘kebaikan budi’ negara-negara adidaya militer kepada negara-negara dengan military strength di bawah mereka. Melampaui itu, hal ini merupakan upaya ekonomi – militer yang dilakukan melalui paten atau lisensi. Eksesnya, rantai produksi persenjataan global secara tidak langsung tetap berada di bawah kendali negara adidaya militer. Dalam pandangan saya, ‘kemandirian’ ini menjadi problematik ketika apa yang disangka telah ‘mandiri’, ternyata tidak benar-benar ‘mandiri’.

Survei Global Firepower tahun 2019 menempatkan Korea Selatan pada peringkat ke-7 kekuatan militer terkuat di dunia. Tentunya kita juga mengakui kemasyhuran multirole fighter KAI T-50/FA-50 Golden Eagle buatan Korea Selatan (Korsel) itu berlaga dalam setiap kecamuk di Asia. Belum lama pula, kita juga melihat bagaimana jet tempur tersebut memegang peran penting dalam kemenangan militer Filipina terhadap gerombolan Isnilon Hapilon di Marawi.[2] Karena dianggap efektif di negara kepulauan, jet tempur ini laris manis terutama negara-negara sentral di Asia Tenggara. Sejauh yang saya tahu, Indonesia memiliki belasan T-50/FA-50. T-50/FA-50 banyak dipahami sebagai “The first indigenous supersonic aircraft” Korsel, namun siapa sangka Lockheed Martin juga punya peran sentral dalam pengembangannya. Jet tempur ini digerakkan oleh mesin jet General Electric F404-102 turbofan; air-to-ground missiles menggunakan AIM-9 Sidewinder (buatan Raytheon Company dan Loral corp - AS) dan AIM-120 AMRAAM (buatan Hughes Aircraft Company, kini diakuisisi oleh Raytheon). Adapun landing gear dikerjakan oleh Messier Dowty, anak perusahaan Safran Landing Systems (Perancis); sistem bahan bakar dikerjakan oleh Argo-Tech (AS); power system dikerjakan oleh Hamilton Sundstrand (USA); digunakan pula senapan mesin 20mm M197 gatling gun produk General Dynamics (USA); cockpit ejection seats dikerjakan oleh Martin Baker (AS); landing system dikerjakan oleh Rockwell Collins (AS); Head Up Displays (HUD) dikerjakan oleh BAE Systems (Inggris); dan yang paling mengejutkan adalah komponen avionics (meliputi perangkat komunikasi, navigasi, monitoring, fuel systems, waeather system, dan seluruh aircraft management system lainnya) dikerjakan seluruhnya oleh Lockheed Martin.[3]

T-50I Golden Eagle milik TNI-AU (Sumber : Korean Aerospace Industries Flickr). License : Creative Commons Atribusi 2.0 Generik

Flug Revue menyebut peran korporasi Amerika Serikat dalam pengembangan jet tempur ini mencapai 55%. Agaknya, kita tidak sedang membeli T-50/FA-50 dari Korsel, namun dari AS. Saya menjadi heran, bagaimana mungkin dengan konfigurasi semacam ini, T-50/FA-50 Golden Eagle disebut sebagai jet tempur ‘indigeneous’. Pesawat ini dibuat setelah lisensi F-16 berakhir tahun 1992 di Korea Selatan, lalu kemudian Lockheed Martin merasa ‘bertanggungjawab’ untuk membantu Korsel mengembangkan pesawat latih berperforma tinggi, dan tentu mampu membuat para pilot Korsel siap menjadi ‘joki’ jet tempur lain, yang tentunya – juga besutan Lockheed Martin. Hal ini yang kemudian membuat konsep pertahanan menjadi semakin kabur, karena spektrum kekuatan kini hadir bersamaan dengan spektrum ancaman. Pengendalian pasar terhadap komponen teknologi pertahanan tersebut dapat menentukan ancaman suatu negara, karena pasokan persenjataan berpengaruh terhadap daya serang suatu negara. Produksi persenjataan dan daya serang negara-negara ASEAN saat ini, secara tidak langsung masih tetap berada di bawah kendali negara adidaya militer, terutama Amerika Serikat. Agaknya, kondisi yang sama juga dialami proyek jet tempur Korsel – Indonesia KF-X/IF-X, yang beberapa waktu lalu sempat ‘dinego’ kembali oleh Menhan, dan Menkopolhukam.

Proyek Korean Fighter Xperiment (KF-X)/Indonesia Fighter Xperiment (IF-X), disebut demikian karena sampai saat masih dalam tahap pengembangan – eksperimen. Proyek pengembangan multirole fighter ini merupakan kerjasama dua negara melalui KAI (Korean Aerospace Industries – joint venture dari Samsung Aerospace, Daewoo Heavy Industries, dan Hyundai Space and Aircraft Company), dan PT DI (PT Dirgantara Indonesia). Dimulai pada 2001 (studi awal), proyek ini direncanakan sampai pada tahap pengembangan prototype pada 2021, dan first flight di 2022. Indonesia bergabung pada proyek ini di tahun 2010, dengan mengirim tim ahli dari TNI-AU, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PT DI ke Korsel.[4] Dari 100% pembiayaan proyek, 80% dilakukan oleh Korsel, dan 20% oleh Indonesia. Tujuan awal dari proyek KF-X adalah memproduksi 120 jet tempur mutakhir untuk menggantikan armada F-4 Panthom II dan F-5 Tiger milik Korsel yang sudah mulai menua.[5] Bulan Juli 2016, Hanwha Techwin menandatangani perjanjian dengan General Electiric untuk memproduksi mesin turbojet GE F414 secara lokal untuk pesawat KF-X.[6] Tahun 2017 Korsel menujuk Texstars LLC untuk membuat kanopi, dan Triumph Group Inc. untuk membuat ‘gearbox’ KF-X.[7] Beberapa perusahaan swasta tersebut berbasis di AS, belum termasuk kontribusi SAAB (Swedia) untuk pembuatan sistem radar, United Technologies Corporation untuk pembuatan sistem kontrol, dan Martin-Baker untuk seat ejection. Tidak lupa pula ‘sahabat lama’ Korsel, Lockheed Martin sebagai konsultan teknis.[8]

Miniatur KF-X di Seoul ADEX 2017. Sumber : Alvis Jean (Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International)

Di akhir tahun 2017 saat pertemuan Menhan (saat itu Ryamizard Ryacudu) dengan perwakilan Lockheed Martin di Jakarta, Menhan menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dukungan transfer teknologi dari Lockheed Martin, sehingga para insinyur Indonesia dapat sejajar dengan para insinyur dari Korea Selatan dalam proyek KF-X/IF-X. Lockheed Martin, kalaupun bersedia melakukan transfer teknologi – toh tidak bisa berbuat banyak, karena jauh sebelumnya, ternyata Pentagon menolak transfer teknologi terkait beberapa teknologi utama dalam pengembangan KF-X, tujuannya untuk mempertahankan keunggulan teknologi canggih jet tempur stealth F-35A Lightning II, termasuk komponen radar Active Electronically Scanned Array (AESA).[9] Menurut saya, proyek ini sangat krusial karena merupakan pengalaman pertama bagi Indonesia mengembangkan pesawat tempur, dan agaknya menentukan roadmap research & development teknologi pertahanan ke depan. Krusial, lagi penuh resiko. Dalam sebuah kajian mengenai resiko dalam proyek KF-X/IF-X, peneliti Universitas Pertahanan Indonesia, Salsabiela et.al. menemukan bahwa aspek teknologi adalah resiko yang paling dominan. Pertama adalah tingkat kesiapan tekonologi. KF-X/IF-X dikembangkan sebagai jet tempur generasi 4.5, sedangkan Indonesia belum memiliki pengalaman mengembangkan jet tempur sekalipun generasi di bawahnya. Maka tingkat kesiapan teknologi industri Indonesia harus dikejar sedemikian rupa. Kedua, sebagian besar teknologi dikembangkan oleh perusahaan swasta AS, untuk mentrasfer teknologi (dan juga pengetahuan) Korsel harus mendapat persetujuan dari AS. Lockheed Martin sebagai konsultan teknis sekaligus koordinator perusahaan-perusahaan yang terlibat juga terikat oleh kebijakan pertahanan dan keamanan AS.[10] Hal ini, mau tidak mau Indonesia harus menjalin hubungan yang sangat dekat dengan AS, bahkan dalam beragam aspek.

Menurut saya, melalui T-50/FA-50 Golden Eagle serta dominasi dalam pengembangan teknologi persenjataan global di negara-negara Asia (khususnya ASEAN), AS sedang memperbesar pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik. Hal ini, tentu disamping upaya hardpower lain seperti keberadaan pangkalan militer di Australia, Singapura, dan Guam, serta latihan gabungan bersama negara-negara ASEAN. AS dalam hal ini juga memiliki kepentingan geopolitik terhadap Laut Tiongkok Selatan, yang sudah barang tentu terkait cadangan migas. Dominasi AS dalam pengembangan teknologi persenjataan negara-negara ASEAN ini tentu semakin memperkeruh Konflik Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok mencurigai beberapa negara anggota ASEAN telah membiarkan atau bahkan memfasilitasi kebijakan Amerika yang bersumbu di Asia (salah satu kebijakan luar negeri pemerintahan Obama) dan melibatkan Amerika dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Hal semisal pada bagaimana Amerika mendukung klaim Filipina pada Laut Tiongkok Selatan secara diam-diam. Akhirnya, setelah terjadi insiden dengan Filipina dan Vietnam, China bersikap agresif dengan menguasai kepulauan Spratly dan Paracel, dan kemudian membangun pangkalan laut di kepulauan itu.[11] Ketidaksaling-percayaan antara Tiongkok dengan negara-negara pasifik ini menyebabkan kemelut yang semakin kompleks. Setelah beberapa waktu yang lalu sempat memanas karena coastguard Tiongkok memasuki wilayah perairan Natuna, agaknya Konflik Laut Tiongkok Selatan ini akan menemui jalan agak panjang. Negara-negara ASEAN terombang-ambing diantara dua kekuatan besar, AS dan Tiongkok.

HAL Tejas mengudara. Sumber : Venkat Magudi (Creative Commons Attribution-Share Alike 2.0 Generic)

'Mengintip' India, Iran, dan Brazil

Refleksi yang muncul dalam benak saya adalah ketika pemenuhan pemenuhan industri pertahanan secara autarchy menjadi semakin ‘utopis’, dan pembelian alat utama sistem pertahanan hanya akan menguntungkan dan semakin memperkuat hegemoni negara-negara adidaya militer terhadap negara berkembang, sedangkan berbagi sumberdaya dengan mereka juga mendatangkan ancaman dalam bentuk baru. Lalu bagaimana kemandirian industri pertahanan Indonesia harus didefinisikan? Jujur saja, sebagai warga negara biasa saya tidak tahu. Tetapi saya teringat jet tempur multi-role HAL Tejas buatan India. Meski secara teknologi berada di bawah KF-X/IF-X (jet tempur generasi 4), dengan konsultan Dassault-Breguet Aviation (Prancis), Tejas ‘nyaris’ dikerjakan secara mandiri oleh Aeronautical Development Agency (ADA) and Hindustan Aeronautics Limited (HAL). Meski pada awalnya Tejas menggunakan mesin turbojet GTRE GTX-35VS Kaveri buatan India sendiri, lalu karena kebutuhan peningkatan performa harus diganti dengan General Electric F404, namun seluruh komponen jet tempur ini diproduksi di dalam negeri oleh perusahaan domestik India. Setelah sebelumnya India harus bertahan dengan menjadikan jet tempur legendaris MiG-21 sebagai tulang punggung angkatan udara, serta berdarah-darah karena kehilangan banyak pilot terbaiknya karena plat besi berkarat era perang Vietnam itu.[12]

HESA Kowsar lepas landas, 100% buatan Iran?. Sumber : Tasnim (Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International)

Di samping Tejas, memanasnya hubungan AS dan Iran akhir-akhir ini membuat saya penasaran mengenai multirole fighter HESA Kowsar buatan Iran. Meski jet tempur generasi 4 ini dituduh menjiplak Northrop F-5 Tiger buatan AS, panglima IRIAF Aziz Nazirzadeh menegaskan itu hal tidak benar. Ia mengklaim semua komponen dikerjakan oleh peneliti muda Iran, bahkan untuk komponen seperti mur, baut, sekrup, dan lain sebagainya, semua dikerjakan di Iran.[13] Ia juga melanjutkan bahwa Kowsar adalah hasil dari kolaborasi antara 10 Universitas terbaik Iran, 63 lembaga riset, 72 perusahaan kontraktor domestik, dan 44 perusahaan supplier domestik. Apakah benar HESA Kowsar jiplakan Northrop F-5? Sekilas memang mirip, namun sebaiknya tidak berlarut-larut dalam hal itu, biarlah dunia yang menilai. Setidaknya India dan Iran telah membuat jet tempurnya sendiri ‘nyaris’ secara autarchy. Bagaimana tidak? Iran sendiri diembargo. Toh, sudah menjadi keumuman, ketika negara-negara berkembang membangun teknologinya sendiri tanpa melibatkan negara-negara maju, bakal menjadi bahan olok-olokan. Seperti nuklir – sedikit saja kekurangan, dapat menjadi bahan bakar hujatan yang maha dahsyat.


Tapi menurut saya, yang paling sukses adalah Brazil dengan A-29 Super Tucano-nya. Di bawah ‘tangan dingin’ kolongmerasi aerospace Brazil, Embraer Defense and Security, Super Tucano menjadi primadona dalam berbagai laga di lebih dari 18 negara. Seperti yang diketahui, insurgensi, kejahatan trans-nasional, dan terorisme menjadi ancaman bersama di negara-negara Amerika Selatan dan Afrika. Sebagai pesawat ground attack dan counter-insurgency, Super Tucano efektif dalam memporak-porandakan pertahanan pemberontak yang bergerilya. Columbia menggunakan Super Tucano untuk menggempur FARC dalam berbagai operasi, Dominica, Ekuador, dan Honduras juga menggunakannya untuk kontra-insurgensi dan memerangi kartel narkoba.[14] Tak ketinggalan AS juga membeli lisensi untuk memproduksi Super Tucano di negerinya melalui Sierra Nevada Corporation. Di samping digunakan AS untuk memerangi gerilyawan Taliban, dan digunakan oleh angkatan bersenjata Afganistan, pesawat turboprop ini juga digunakan oleh private contractor Blackwater Worldwide yang ganasnya bukan main itu.[15]

A-29 Super Tucano Angkatan Udara Afghanistan berpatroli di atas Kabul. Sumber : US Air Force photo (Public domain in US)

Peluang Kemandirian di Tengah Ancaman

Kesuksesan Super Tucano ini tentu tidak lepas dari bagaimana Brazil mampu memahami ancaman dan juga peluang di saat yang bersamaan. Di kawasan ASEAN, ancaman yang dihadapi agaknya tidak jauh berbeda. Dalam pertemuan Bali Concord II di Denpasar tahun 2003, kajian terhadap ancaman yang harus dihadapi negara-negara ASEAN di tahun 2020 sebenarnya telah dilakukan. Dalam sebuah artikel berjudul Impact of Geopolitical and Security Environment in 2020 on Southeast Asian Armies: Forging Cooperative Security, yang disusun oleh perwira militer dari 5 negara ASEAN, mengemukakan bahwa ancaman keamanan yang akan dihadapi oleh ASEAN di tahun 2020 diantaranya; 1) The revival of religious extremism; 2) Ethno–religious conflicts and separatism; 3) Regional terrorism; dan 4) Problem trans-nasional.[16] Kita bisa saksikan, memang demikian yang terjadi, baik di negeri kita, belum lama ini juga di Filipina, Malaysia, dan negara ASEAN yang lain.

Melihat hal ini, tampaknya lebih strategis jika Indonesia mengembangkan pesawat ground attack dan counter-insurgency bermesin turboprop ketimbang jet fighter. Mengapa? Mungkin yang pertama, ada ancaman yang sudah tidak lagi laten, mengenai terorisme dan insurgensi/separatisme, dan hal itu menjadi ancaman bersama ASEAN. Artinya, ada ancaman dan ada peluang. Filipina misalkan, ancamannya cukup lengkap, yakni religious conflicts, extrimism, insurgensi, dan kartel narkoba, semua ada di sana. Lalu kita juga melihat bagaimana T-50 Golden Eagle memegang peran penting dalam kemenangan militer Filipina terhadap gerombolan Isnilon Hapilon di Marawi. Namun, T-50 Golden Eagle ini bagi Duterte terlalu mahal. Di tahun 2016, saat mengetahui AU Filipina akan membeli 12 jet tempur, ia mengatakan demikian : “We only have what, two FA-50s? Why did you buy that? What a waste of money. You cannot use them for anti-insurgency, which is the problem at the moment. You can only use these for ceremonial fly-by.”.[17] Sebagaimana yang dapat disaksikan di pertempuran Marawi, jika hanya untuk menjatuhkan bom ke daratan, tampaknya bisa dilakukan meski hanya dengan OV-10 Bronco. Jika Indonesia mampu mengembangkan ground attack dan counter-insurgency bermesin turboprop dengan harga yang lebih murah dari Super Tucano, namun dengan teknologi di atas OV-10 Bronco, tentu, menurut saya, memiliki potensi pasar yang cukup bagus di ASEAN. Lagipula, sejauh pengamatan, Super Tucano masih belum memiliki kompetitor yang sebanding di ASEAN.

Alasan yang kedua, secara tingkat kesiapan teknologi industri Indonesia sudah sangat siap. Kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia dengan PT Nusanatara Turbin & Propulsi saya pikir dapat menghasilkan rantai produksi yang andal. Menilik katalog industri pertahanan Indonesia di website KKIP (www.kkip.go.id), di mana PT DI sudah berpengalaman memproduksi CN235, NC212i, dan banyak jenis helikopter lainnya, ditambah pengalaman PT Nusanatara Turbin & Propulsi sebagai pusat unggulan di dalam bidang rekayasa, perawatan, perbaikan dan overhaul sistem turbin gas dan rotating equipment terkemuka di Asia Tenggara, serta telah mengantongi beragam manufacture license, baik dari Rolls Royce maupun General Electric, mustahil rasanya pesawat ground attack bermesin turboprop tidak dapat dikembangkan 100% di Indonesia. Alasan yang ketiga, pembuatan pesawat ground attack bermesin turboprop ini merupakan sebuah bentuk upaya menangkal ancaman dengan segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki sendiri, sekaligus kemandirian pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan. Namun bukan berarti saya pesimis, atau tidak yakin terhadap kemampuan Indonesia dalam proyek KF-X/IF-X. Meski dalam waktu yang singkat harus mengejar tingkat kesiapan teknologi, Indonesia cukup mampu, buktinya proyek ini sampai hari ini terus berlanjut. Target harus tetap tercapai di tahun 2026.

Jika melihat negara-negara maju, atau setidaknya yang telah mampu mengembangkan alat pertahanan udara secara mandiri, rata-rata sebelumnya mereka telah berhasil dalam teknologi komunikasi dan transportasi. Korsel misalnya, KAI sendiri merupakan joint venture dari Samsung, Daewoo, dan Hyundai, mereka bergerak di teknologi komunikasi dan transportasi. Demikian pula dengan Rolls Royce dan General Electric, berkembang dari perusahaan otomotif. India memiliki perusahaan otomotif Bajaj yang sudah mengekspor produk-produk mereka sejak tahun 60-an. Indonesia mungkin belum memiliki riwayat semacam itu. Akhirnya, ada keterbatasan teknologi pada mesin produksi. Mudahnya; Indonesia mampu mengembangkan atau memproduksi, namun belum mampu mengembangkan sendiri mesin produksinya, atau mesin yang digunakan untuk membuat komponen-komponen utamanya. Hal ini dialami oleh senapan serbu Pindad SS-2. Kajian yang dilakukan oleh peneliti Universitas Pertahanan Indonesia, Abidin et.al., menunjukkan bahwa kesiapan teknologi yang andal atau memadai berpengaruh terhadap mutu produk. PT Pindad belum sepenuhnya siap karena tingkat kesiapan teknologi yang dimiliki seperti mesin produksi, dan pembuatan material (60% material masih harus diimpor). Di satu sisi, Indonesia kaya akan material, namun ketika industri pertahanan dalam negeri menyiapkan material, mutunya kurang optimal, oleh karena – kembali lagi, tingkat kesiapan teknologi yang dimiliki. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keandalan produk yang dihasilkan. Sayang sekali, Pindad SS-2 yang memiliki akurasi, spesifikasi, dan layanan perawatan yang lebih baik dari M-16 dan AK-47, karena hal tersebut, SS-2 menjadi tidak lebih andal dari keduanya.[18]
 
Kendaraan Taktis Komodo produksi PINDAD. Sumber : Kostrad (Lisence : domain publik di Indonesia)

Pemenuhan kebutuhan Alpalhankam (Alat-alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) secara mandiri oleh industri pertahanan dalam negeri tentu bukan perkara mudah, dan kerap menemui jalan panjang, atau bahkan jalan terjal. Problem-problem seperti tingkat kesiapan teknologi, isu keamanan internasional, faktor geopolitik dan geostrategi, akan menjadi sesuatu yang harus dihadapi oleh bangsa ini ke depan dalam upaya memandirikan industri pertahanan. Tentu, ‘mandiri’ yang benar-benar ‘mandiri’. Untuk itu, menurut saya cukup masuk akal semisal lima tahun ke depan kebijakan industri pertahanan juga meletakkan prioritas pada faktor tingkat kesiapan teknologi, dengan membuat sendiri mesin produksi bahan baku dan komponen utama dari Alpalhankam unggulan yang sudah dimiliki, semisal senapan-senapan Pindad, rantis Komodo, ranpur Anoa, FSV Badak, serta aneka amunisi dan peledak. Adapun 5 tahun setelahnya, kebijakan industri pertahanan fokus pada meningkatan mutu, pemasaran, serta pengembangan produk baru alat pertahanan udara dan laut (sebagaimana yang saya pikirkan mengenai pesawat ground attack bermesin turboprop) yang dipandang ‘marketable’ setidaknya di ASEAN. Dengan demikian, saya pikir 10 tahun mendatang kita dapat menangkal ancaman dengan segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki sendiri dengan melampaui minimun essential force, sekaligus ‘menuju’ kemandirian industri pertahanan. Demikian kira-kira uneg-uneg dari seorang warga negara biasa. Tentu saja, dan kita semua berharap, kemandirian ini adalah ‘mandiri’ yang benar-benar ‘mandiri’. Mandiri dalam merawat dan mandiri dalam membuat. Semoga.

Referensi

[1] Witarti, D.I., dan Armandha, S.T., 2015, Tinjauan Teoretis Konsepsi Pertahanan dan Keamanan di Era Globalisasi Industri Pertahanan, Jurnal Pertahanan, Desember 2015, (5)3, pp. 87-106.
[2] Lihat Nepomuceno, P. 2018, PAF New Jet Fighters Lauded for Role in Marawi Victory, Republic of Philippines : Philippine News Agency, www.pna.gov.ph, 25 Mei 2018, diakses pada tanggal 13 Januari 2020 <https://www.pna.gov.ph/articles/1036455>
[3] Lihat Airforce Technology, T-50 Golden Eagle, diakses pada tanggal 13 Januari 2020, <https://www.airforce-technology.com/projects/t-50/>.
[4] Priyambodo, R.H. (Ed.) 2011, RI Sending KFX Jet-Fighter Production Team to South Korea. Antaranews.com, 11 July 2011, diakses pada tanggal 14 Januari 2020. <https://en.antaranews.com/news/73621/ri-sending-kfx-jet-fighter-production-team-to-south-korea#selection-1977.0-1977.57>
[5] Grevatt, J. 2019, KAI Reaches Early Production Milestone on KFX, Jane's Defence Industry – www.janes.com, 18 February 2019, diakses pada tanggal 14 Januari 2020. <https://www.janes.com/article/86534/kai-reaches-early-production-milestone-on-kfx>
[6] GE Aviation. 2016, GE Aviation’s F414 Engine Selected to Power South Korea’s KF-X Fighter Jet, www.geaviation.com. May 26, 2016, diakses pada tanggal 14 Januari 2019. <https://www.geaviation.com/press-release/military-engines/ge-aviations-f414-engine-selected-power-south-koreas-kf-x-fighter
[7] Triumph Group, 2017. Triumph Awarded Contract with Korea Aerospace Industries For KF-X Airframe Mounted Accessory Drive, https://triumphgroup.com, March 01, 2017, diakses pada tanggal 14 Januari 2019. <https://triumphgroup.com/triumph-awarded-contract-with-korea-aerospace-industries-for-kf-x-airframe-mounted-accessory-drive/
[8] Kemenhan-RI, 2017. Perusahaan AS Lockheed Martin Dukung Indonesia Dalam Pengembangan Pesawat Tempur KFX/IFX, https://www.kemhan.go.id, 7 Desember 2017, diakses pada tanggal 14 Januari 2020. <https://www.kemhan.go.id/2017/12/07/11618.html
[9] Kim, S. 2015, Pentagon Says No to 4 KF-X Technologies, Korea Joongang Daily, http://koreajoongangdaily.joins.com, diakses pada tanggal 14 Januari 2019 <http://koreajoongangdaily.joins.com/news/article/article.aspx?aid=3010416
[10] Salsabiela, B.F., Midhio, I.W., Amperiawan, G. 2017, Risk Assessment In Developing Kfx/Ifx Fighter On Joint Development Cooperation Between Indonesia With South Korean, Journal of Defense & State Defense, August 2017, (7)2, pp. 137-160 
[11] Junef, M. 2018, Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Juni 2018, (18)2, pp. 219 – 240. 
[12] Defense World. 2019, IAF MiG-21 Crashes, Pilots Safe, https://www.defenseworld.net, September 25, 2019, diakses pada tanggal 14 Januari 2020. <https://www.defenseworld.net/news/25551/IAF___s__Flying_Coffin__Crashes__Pilots_Safe#.Xh3jw9ExUqo>
[13] Military Factory, 2019, HESA Kowsar (Thunderbolt), https://www.militaryfactory.com, 21 April 2019, diakses pada tanggal 15 Januari 2020. <https://www.militaryfactory.com/aircraft/detail.asp?aircraft_id=2041
[14] Defense Industry Daily, 2013, Bribery Probe Into the Dominican Republic’s 8 Super Tucanos, https://www.defenseindustrydaily.com, 3 November 2013, diakses pada tanggal 15 Januari 2020. <https://www.defenseindustrydaily.com/8-Super-Tucanos-to-Dominican-Republic-05244/
[15] USA Today, 2008, Blackwater buys Brazilian-made Fighter Plane, 1 Mei 2008, www.usatoday.com, diakses pada tanggal 15 Januari 2020. <https://usatoday30.usatoday.com/news/world/2008-06-01-blackwater-brazlian-fighter-plane_N.htm
[16] Kosakul, U., Leong, S., Lepi, M.S.m., Renaldi, A., Nakamura, N., Phomlouangsy, S.P. 2003, Impact of geopolitical and security environment in 2020 on Southeast Asian armies: Forging cooperative security, dalam GEDDES PAPERS 2003 - Declaration of Bali Concord II, Bali, Indonesia, 7 October 2003, pp. 96-106. 
[17] Roblin, S. 2016, FA-50 Golden Eagle: The Low-Cost Fighter that Might See Some Serious Combat. September 11, 2016, https://nationalinterest.org. Diakses pada tanggal 15 Januari 2020. <https://nationalinterest.org/blog/fa-50-golden-eagle-the-low-cost-fighter-might-see-some-17649
[18] Abidin, Y., Wahyudi, B., Halim, S. 2017, Evaluasi Strategi Pengembangan Produk Senjata Senapan Serbu 2 PT. Pindad Dengan Blue Ocean Strategy, dalam Jurnal Prodi Ekonomi Pertahanan, April 2017, (3)1, pp. 89-155

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Protected by Copyscape

Posting Komentar

1 Komentar