Header Ads Widget

Header Ads

Resensi : Menempa Quanta Mengurai Seni

Mencoba untuk me-review beberapa buku yang sudah dibaca, mudah-mudahan dapat menjadi sebuah kebiasaan. Berikut ini merupakan review yang saya buat untuk buku yang berjudul Menempa Quanta Mengurai Seni, karya dari Prof. Drs. M. Dwi Marianto, MFA., Ph.D.

Judul Buku : Menempa Quanta Mengurai Seni 
Penulis       : M. Dwi Marianto
Penerbit     : BP ISI Yogyakarta 
Tahun         : 2011 
Tebal          : + 160 halaman

Berangkat dari beberapa pertanyaan fundamental yakni, “Apakah seni itu?, Seni macam apa yang paling baik untuk seseorang, komunitas, atau masyarakat?, Adakah formula, proporsi, atau metode ampuh untuk menghasilkan seni yang menarik dan estetis?”. Hingga saat ini, beberapa pertanyaan tersebut tidak pernah sepenuhnya terjawab, namun menurut penulis, seni yang baik itu adalah seni yang mampu memberi "daya hidup".

Point utama dalam buku ini penulis berusaha membuat suatu hubungan yang masuk akal antara seni dengan daya hidup. Relasi antara seni dan daya hidup menjadi frase kunci penulis dalam memaknai seni dan praktik berkesenian. Konsepsi mengenai daya hidup ini diperkuat oleh hasil temuan Viktor Schauberger yang ditulis oleh Callum Coats dalam buku yang berjudul Living Energies : An Exposition of Concepts related to the Theory of Viktor Schauberger. Penelitian Viktor Schauberger menemukan bahwa ada daya lain yang bekerja berkebalikan dan gravitasi, yakni daya levitasonal (levitational force), sekaligus menjadikan bahwa levitation merupakan antithesis dari gravitation. Levitasi merupakan daya yang meungkinkan sebatang pohon tumbuh ke atas, atau : 1) daya yang mempercepat dan mengangkat; 2) daya yang menyebabkan kehidupan dapat berlangsung; 3) daya yang menyebabkan kemeninggian, atau pertumbuhan makhluk hidup.

Terbentuknya konsepsi daya hidup oleh penulis dalam memaknai seni dan praktik berkesenian ini dilandasi oleh pendekatan teori quantum yang dikemukakan oleh teoretisi terkemuka fisika quantum Niels Bohr yang menitikberatkan pada kemampuan observasi. Niels Bohr mengemukakan realitas hanya eksis setelah observasi dilakukan terhadapnya (dalam Michio Kaku : 2005). Menurut teori quantum tidak ada deskripsi yang benar-benar dapat sepenuhnya menggambarkan kenyataan pada suatu benda, baik aspek partikel, maupun aspek gelombangnya, namun jika kita ingin memahami esensi dari suatu benda/segala sesuatu secara utuh, maka harus dipahami secara simultan aspek partikel dan aspek gelombangnya, sebab keduanya sama-sama fundamental. Hal ini yang disebut dengan dualitas quantum, dapat berupa partikel – gelombang, positif – negatif, semesta – ketiadaan, otak kiri – otak kanan, levitation – gravitation, thesis – antithesis.

Dualitas quantum ini hendaknya menjadi landasan dalam melakukan kritik seni disamping langkah-langkah fundamental dalam melakukan kritik seni (mendeskripsi, menganalisis, menginterpretasi, dan menilai seni). Rasa dan pikiran bukan merupakan suatu entitas yang terpisah, namun kedua entitas tersebut diperlukan secara simultan untuk memahami esensi dari suatu karya seni. Mitos modernitas secara salah sering mengajarkan bahwa pemahaman dengan pikiran seakan lebih tepat dan superior daripada dengan rasa. Seolah-olah rasio lebih penting jika dibandingkan dengan penghayatan akan rasa dan keterampilan mengekspresikan rasa, sehingga seni dan karya kreatif sering hanya jadi objek intelektualisme belaka, atau objek kajian dengan kaidah-kaidah linear akademis. Padahal tidak ada temuan-temuan baru melalui metode-metode yang linier, karena linieritas hanya efektif dalam menghasilkan operator, user, bukan sebagai creator, dan inventor.

Perspektif yang unik dan partikular disajikan oleh penulis di dalam buku ini, dengan melakukan pendekatan sains dalam kritisisme seni. Hal ini dirasa perlu hadir di tengah-tengah seni postmodern yang sudah mulai “mapan” ini. Konsepsi-konsepsi, dan pemahaman memaknai seni serta praktik berkesenian perlu dimaknai ulang bahkan diberi makna baru untuk menciptakan sebuah dinamika yang mendorong kreativitas, dimana kreativitas meupakan esensi dari seni itu sendiri. Dengan kata lain, dengan selalu mengaktifkan indera-indera untuk dapat melihat dan mendapatkan pengalaman baru, agar yang dialami dapat senantiasa baru dan segar. Bisa jadi pendangan penulis menjadi antithesis dari teori-teori atau pemahaman mainstream, namun dengan kekayaan akan referensi dan wawasan, penulis berusaha membangun cara pandang yang melahirkan sudut pandang yang segar dalam kritisisme seni dengan tidak menghilangkan prinsip-prinsip dasar dalam kritik seni, yakni mendeskripsi, menganalisis, menginterpretasi, dan menilai seni. Hal ini terlihat pada bab-bab awal buku yang membahas empat tahapan dasar tersebut secara terpisah, namun dalam praktiknya keempat tahap ini saling berhubungan dan dilakukan secara dinamis, atau tidak linear sesuai dengan paradigma teori quantum yang menjadi gagasan utama dalam buku ini.

Pembagian keempat langkah dasar dalam melakukan kritik seni tersebut dilakukan secara terstuktur dan berurutan, disertai dengan contoh-contoh dan langkah-langkah teknis operasional, hal ini dirasa sangat membantu terutama pada tingkatan pemula, bahkan bagi orang yang belum pernah melakukan kritik seni sekalipun. Buku yang ditulis dengan bergaya obrolan ini mampu mengemas pokok-pokok bahasan seni dan sains yang rumit membingungkan menjadi lebih ringan, sehingga pembaca seolah-olah sedang dikondisikan mengobrol dengan penulis. Namun ada beberapa hal mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan, bahwasannya tidak semua orang yang memiliki ketertarikan kuat terhadap seni, juga memiliki ketertarikan yang sama terhadap sains, khususnya pada bidang fisika, terkait dengan istilah-istilah/kosakata fisika yang memang terasa tidak familiar bagi insan seni, sehingga perlu adanya sebuah interpretasi penulis terhadap kutipan-kutipan dari para fisikawan quantum, atau dapat juga dengan jalan memberikan metafor-metafor yang dapat dipahami dengan mudah oleh imajinasi insan seni. Gagasan ini unik dan menarik, tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, sejauh mana kekuatan “daya ganggu” gagasan penulis dalam dunia kesenirupaan Indonesia?.

Review oleh : Aditya Nirwana

Biografi penulis
M. Dwi Marianto lahir di Jakarta, 1956, adalah penulis dan pengamat seni yang kini mengemban tugas sebagai Direktur Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pendidikan Seni didapat dari : 1982 S-1 Seni Grafis di STSRI ASRI Yogyakarta; 1988 MFA, Printmaking, Rhode Island School of Design – USA; 1998 Ph.D., Creative Art, The University of Wollongong – Australia; 1998 Curatorial Workshop di Jepang, disponsori oleh Japan Foundation Jakarta. Sebagai seniman, budayawan dan tenaga pendidik, telah banyak berkarya berupa : sketsa, artikel, dan buku seni. Aktif mengamati fenomena seni dan budaya keseharian yang membangkitkan daya hidup, berfikir, dan berkreasi seni dengan pendekatan teori quantum.

Posting Komentar

0 Komentar